Jumat, 06 Mei 2016

Penyelesaian Sengketa



Penyelesaian Sengketa

Menurut Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Arbitrase sendiri adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS).

A.    Negosiasi
Secara umum kata "negosiasi" berasal dari kata to negotiate, to be negotiating dalam bahasa inggris yang berarti "merundingkan, membicarakan kemungkinan tentang suatu kondisi, dan atau menawar". Sedangkan kata-kata turunanya adalah antara lain "negotiation" yang berarti "menunjukkan suatu proses atau aktivitas untuk merundingkan, membicarakan sesuatu hal untuk disepakati dengan orang lain", dan "negotiable" yang berarti "dapat dirundingkan, dapat dibicarakan, dapat ditawar".
Negosiasi adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari dengan kita sadari maupun tidak, sebagai contoh ketika kita sedang berbelanja atau membeli sesuatu di pasar, maka kita akan terlibat suatu proses tawar-menawar harga barang yang akan kita beli (kecuali apabila kita membeli disupermarket/minimarket kita tidak akan bisa menawar), dalam hal ini berarti kita sedang melakukan praktik negosiasi. Begitu juga ketika kita sedang meminta sesuatu kepada orang tua kita, misalkan kita menginginkan handphone (HP) namun orang tua kita malah membujuk kita dengan janji akan dibelikan sepeda dan tidak membelikan HP dengan alasan tertentu, dalam hal ini orang tua kita melakukan proses negosiasi dengan kita.
Definisi negosiasi secara formal dapat diartikan sebagai suatu bentuk pertemuan bisnis antara dua pihak atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan bisnis. Negosiasi merupakan perundingan antara dua pihak dimana didalamnya terdapat proses memberi, menerima, dan tawar menawar. Selain itu negosiasi juga merupakan ijab kabul dari sebuah proses interaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak untuk saling memberi dan menerima atas sesuatu yang ditentukan dengan kesepakatan bersama.

B.     Mediasi
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini merujuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. „Berada di tengah‟ juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan dari para pihak yang bersengketa.
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga (sebagai mediator atau penasihat) dalam penyelesaian suatu perselisihan. Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Lengkap Bahasa Indonesia mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.

C.    Arbitrase
Arbitrase adalah sebagai salah pranata penyelesaian sengketa (disputes) perdata (pivate) diluar pengadilan (non-litigation) dengan dibantu oleh seorang atau beberapa orang pihak ketiga (arbiter) yang bersifat netral yang diberi kewenangan untuk membantu para pihak menyelesaikan sengketa yang sedang mereka hadapi.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini didasarkan pada perjanjian atau klausula arbitrase (arbitration clause), yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum maupun setalah timbulnya sengketa. Arbitrase apabila dilihat dari suku katanya berasal dari bahasa latin yaitu arbitrare, yang mempunyai arti kebijaksanaan. Oleh karena itu R. Subekti dalam bukunya yang berjudul Arbitrase Perdagangan mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa yang proses dibantu oleh seorang pihak ketiga dengan menggunakan kebijaksanaannya. Sedangkan dalam islam arbitrase sering disebut dengan istilah al-tahkim yang merupakan bagian dari al-qadla (pengadilan). Pengertian tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan arbitrase itu sendiri dapat menimbulkan kesalahpahaman pengertian tentang arbitrase itu sendiri.
Hal ini dikarenakan pengertian yang demikian akan menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu majelis arbitrase dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa tidak akan mengindahkan norma-norma hukum lagi dan hanya menyandarkan pada kebijaksanaannya saja. Pengertian ini adalah keliru sebab seorang arbiter atau majelis arbitrase dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu sengketa terikat dengan norma-norma hukum perundang-undangan yang ada, dengan kata lain arbiter dalam memutus suatu sengketa tidak hanya didasarkan pada kebebasan arbiter semata.
Oleh sebab itu kemudian R. Subekti memberikan pengertian tentang arbitrase sebagai berikut: Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. Sedangkan menurut Frank Alkoury dan Eduar Elkoury memberikan definisi tentang arbitrase adalah suatu proses yang mudah dan simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru sita yang netral sesuai dengan pilihan mereka, dimana putusan mereka didasarkan pada dalil-dalil dalam perkara tersebut.

D.    Perbandingan Antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
a)   Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan.
b)    Arbitrase adalah pihak-pihak perselisihan memilih penyelesaian oleh seorang wasit atau lebih (tentunya lalu dalam jumlah yang ganjil agar supaya kemungkinan kelebihan suara pada saat memutus, walaupun untuk (pemutusan ini sebaiknya digunakan cara bermusyawarah), wasit atau wasit-wasit dimana biasanya adalah ahli atau ahli-ahli di dalam lingkungan cabang perniagaan atau perusahaan yang bersangkutan.
c)       Perundingan adalah pembicaraan tentang sesuatu, perembukan, permusyarawaratan. Perundingan merupakan tindakan atau proses menawar untuk meraih tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima. Dalam perundingan dibutuhkan tindakan kedua belah pihak baik yang nyata maupun yang tidak, dimana pihak-pihak yang berunding memberikan persetujuannya. Perundingan tidak mencari cara untuk memengaruhi satu pihak, namun terjadi karena kedua belah pihak merasakan hal yang sama: ingin mencapai kesepakatan.

Daftar Pustaka

Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat



Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

A.    Pengertian
Menurut UU nomor 5 tahun 1999 pasal 1 butir 1 UU Antimonopoli, Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku usaha atau suatu kelompok usaha. Persaingan usaha tidak sehat (curang) adalah suatu persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa dilakukan dengan cara melawan hukumatau menghambat persaingan usaha.
Dalam UU nomor 5 tahun 1999 pasal 1 butir 6 UU Antimonopoli, Persaingan curang (tidak sehat ) adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

B.     Asas dan Tujuan
1.        Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
2.        Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.

C.    Kegiatan yang Dilarang
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu:
1.        Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
2.        Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
3.        Penguasaan Pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19, bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a.     Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan.
b.   Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya.
c.       Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan.
d.      Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4.        Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5.        Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6.        Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.
7.        Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8.        Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.

D.    Perjanjian yang Dilarang
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut:
1.        Oligopoli.
2.        Penetapan harga.
3.        Pembagian wilayah.
4.        Pemboikotan.
5.        Kartel.
6.        Trust.
7.        Oligopsoni.
8.        Integrasi vertikal.
9.        Perjanjian tertutup.
10.    Perjanjian dengan pihak luar negeri.

E.     Hal-Hal yang Dikecualikan Dalam UU Anti Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut:
1.     Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari:
a.       Oligopoli.
b.      Penetapan harga.
c.       Pembagian wilayah.
d.      Pemboikotan.
e.       Kartel.
f.       Trust.
g.      Oligopsoni.
h.      Integrasi vertical.
i.        Perjanjian tertutup.
j.        Perjanjian dengan pihak luar negeri.
2.    Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a.       Monopoli.
b.      Monopsoni.
c.       Penguasaan pasar.
d.      Persekongkolan.
3.        Posisi dominan, yang meliputi:
a.       Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing.
b.      Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi.
c.       ]Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar.
d.      Jabatan rangkap.
e.       Pemilikan saham.
f.       Merger, akuisisi, konsolidasi.

F.     Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

G.    Sanksi
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.

Daftar Pustaka

Perlindungan Konsumen



Perlindungan Konsumen

A.    Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/ konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Konsumen pada umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi. Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 undang-Undang Perlindungan Konsumen adalahsetiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Selain pengertian-pengertian di atas, dikemukakan pula pengertian konsumen, yang khusus berkaitan dengan masalah ganti rugi. Di Amerika serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, melainkan juga korban yang bukan pembeli, namun pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai. Sedangkan di Eropa, hanya dikemukakan pengertian konsumen berdasarkan Product Liability Directive (selanjutnya disebut Directive) sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa. Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai akhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai akhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen pemakai dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Untuk menghindari kerancuan pemakaian istilah “konsumen” yang mengaburkan dari maksud yang sesungguhnya.
Terdapat beberapa batasan pengertian konsumen, yakni:
1.    Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu;
2.    Konsumen antara adalah setip orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
3.       Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa, untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non-komersial).

B.     Asas dan Tujuan
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen yaitu:
1.        Asas Manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
2.        Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.        Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d.Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
4.        Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.        Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hokum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:
1.       Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2.     Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3.   Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
4.   Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5.     Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6.      Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

C.    Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak konsumen adalah sebagai beriikut:
1.       Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2.      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3.     Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
4.       Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
5.      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6.       Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7.       Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8.     Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9.       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan, kewajiban konsumen yaitu:
1.     Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
2.       Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
3.       Membayar dengan nilai tukar yang disepakati.
4.       Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

D.    Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha adalah:
1.    Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
2.       Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikat tidak baik.
3.   Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaiakan hukum sengketa konsumen.
4.      Hak untuk rehabilitasi nama baik apbila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
5.       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan, kewajiban pelaku usaha adalah:
1.      Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2.      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3.      Memperlakukan/melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
4.   Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
5.      Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
6.   Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian  dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7.      Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

E.     Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran, ketentuan ini diatur di Pasal 9 – 16. Pada Pasal 9 pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
1.        Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
2.        Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru.
3.        Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
4.        Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.
5.        Barang dan/atau jasa tersebut tersedia.
6.        Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
7.        Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
8.        Barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
9.        Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
10.   Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
11.    Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Kemudian pada Pasal 10 ditentukan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
1.        Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa.
2.        Kegunaan suatu barang dan/atau jasa.
3.        Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa.
4.        Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
5.        Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

F.     Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari produk yang cacat, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan/jaminan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Didalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
1.        Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan.
2.        Cacat barang timbul pada kemudian hari.
3.        Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
4.        Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
5.     Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

G.    Sanksi
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
1.        Pengembalian uang atau;
2.        Penggantian barang atau;
3.        Perawatan kesehatan, dan/atau;
4.        Pemberian santunan.
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
Sanksi Administrasi :
Maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25.
Sanksi Pidana :
Kurungan :
1.      Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18.
2.      Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f.

Daftar Pustaka